Aksara
Sunda
1.
Sejarah
Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam
bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat
di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.
Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuna
sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah
Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu
itu para menak Sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai
anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan
Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan
ikon-ikon Jawa.
Bahkan VOC pun membuat
surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya meliputi Aksara Latin, Aksara Arab Gundul (Pegon) dan
Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 3
November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang
menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu
Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi
mengenal aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun
1950-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah
Aksara Sunda Kuna, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut
dengan Cacarakan.
Contoh. aksara
huruf jawa cacarakan
2.
Latar belakang dan sejarah Aksara
Sunda Kuna
Contoh plang sekolah SDN 1 CIBENING Purwakarta yang
menggunakan tulisan aksara sunda dan latin
Setidaknya sejak Abad
IV masyarakat Sunda
telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun
demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan
keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah
satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan
ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat
Sunda.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para
peneliti berkebangsaan asing(misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan
bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan
prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna. Berdasarkan atas
penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran
akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian,
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak
digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan
Aksara Daerah.
Pada
tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah
Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji
oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor
343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim
tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Saat
ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui
beberapa acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara
Sunda Baku juga digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga,
Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung.
Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya
yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama jalan-jalan utama di kota
tersebut.
Namun
demikian, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa
untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut diwajibkan
untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan aksara daerah mungkin
akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari bersamaan
dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Lampung
dan Provinsi Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan
mewajibkan para siswa Sekolah Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga
mempelajari aksara daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar